"Mangkang Menua,Mangkang Dunya,Ngetan Ke Bansa!!"

February 2, 2010

Upacara Ngayau, Kepala Musuh untuk Kehormatan dan Kekuasaan

Filed under: Pengayau — Pengayau @ 12:41 am
Tags:

Taken from  Komunitas Blogger Dayak

Upacara Ngayau, Kepala Musuh untuk Kehormatan dan Kekuasaan

Upacara ini untuk pertama kalinya digelar di muka umum di luar sub suku Dayak Iban. Sebagai upacara untuk umum, tentu saja pelaksanaannya hanya modifikasi dari upacara yang sesungguhnya yang tak bisa lepas dari korban kepala manusia dari pihak musuh. Kurang lebih, dalam upacara yang digelar pada Selasa 22 Mei 2007 dalam acara Gawe Dayak dan Gelar Budaya Dayak 2007 di Rumah Betang, Pontianak, hanya fragmentasi dari tata cara suku Iban menyelenggarakan tradisi Ngayau.

Ngayau merupakan tradisi suku dayak yang mendiami Pulau Kalimantan, baik suku dayak yang tinggal di Kalimantan Barat maupun Kalimantan lainnya termasuk Malaysia mengenal tradisi Ngayau, Namun pada gelar Budaya Dayak ini dikhususkan tradisi Ngayau menurut suku Dayak Iban.

Secara historis Ngayau menurut suku Dayak Iban mempunyai arti turun berperang dalam rangka mempertahankan status kekuasaan, misalnya mempertahankan atau memperluas daerah kekuasaan yang dibuktikan dengan banyaknya jumlah kepala musuh.

Semakin banyak kepala musuh yang diperoleh, maka semakin kuat/ perkasa orang yang bersangkutan. Dalam bahasa Iban Ngau bermakna juga sebagai perang berburu kepala yang dilakukan secara berkelompok disebut “Kayau Banyak”atau individu yang disebut “Ngayau Anak” . Sedangkan orang yang memperoleh kepala dianggap sebagai pahlawan perang yang biasa dianggap dengan “Bujang Berani” atau ksatria.

Adat Ngayau pertama kali diturunkan oleh Urang Libau Lendau Dibiau Takang Isang (kayangan) yang saat itu sebagai tuai rumah (kepala kampung) yang bernama Keling. Berkat keberaniannya dan kegagahannya maka diberikan gelar : Keling Gerasi Nading, Bujang Berani Kempang (Keling merupakan orang yang gagah berani). Gelar tersebut diberikan oleh Tetua Iban yang bernama Merdan Tuai Iban, yang saat ini tinggal di Tatai Bandam (masuk dalam eilayah lubuk Antu Serawak Malaysia).

Upacara mengayau yang sekarang ini dilakukan mempunyai makna mengisyarakatkan atau memberitahukan kepada generasi muda tentang peristiwa ngayau pada waktu dulu.

Bahan-bahan yang dipersiapkandalam upacara ngayau, antara lain:
– 7 piring pulut (ketan)
– 7 piring tempe (pulut yang dicampur dengan beras)
– 7 piring rendai (terbuat dari beras ketan yang disangrai)
– 7 butir telur ayam matang
– 1 piring berisi: sirih, gambir (sedek), rokok, kapur pinang, buah pinan, tembakau, 7 buah ketupat yang diikat, beras dicampur pulut, 7 jalong cubit, seikat benang yang diikatkan di sungki (ketupat/lepat diikat dengan daun).
– 1 piring utai bekaki (tepung pulut dicampur dengan tepung beras dibuat hiasan seperti tutup sersang, bintang, bintang banyak, udang, pesawat, dan sebagainya).
-3 piring udah berisi bahan-bahan yang digunakan dalam upacara dan ditempatkan dalam ancak yang terbuat dari potongan bambu yang dirangkai dengan seutas tali.
– 2 ekor babi (boleh jantan atau betina).
– 3 ekor ayam jantan
– tengkorak manusia sebagai simbol
– 1 buah kelapa tua sebagai simbol kepala manusia
– minuman tuak

Peralatan perang antara lain :
– sangkok atau tombak
– terabi (perisai)
– tersang (ancak) terbuat dari bambu untuk menyimpan sesajian
– mandau
– 1 buah bendera dengan 5 warna :

– merah = sifat berani
– hijau = lambang kesuburan
– kuning = melambangkan ketulusan
– hitam = melambangkan perlindungan dari orang yang bermaksud tidak baik.
– putih = melambangkan hati dan pikiran yang suci/jernih.

Alat-alat yag digunakan :
– grumung (gong kecil)
– tawak (gong besar)
– gendang
-bebendai (gong sedang)

Prosesi Upacara

– Ngantar pedara (ngantar sesajen)
1. Sebelum turun mengayau, satu minggu sebelumnya para wanita mempersiapkan segala perangkat adat yang dipergunakan untuk membuat sesajen (pedara).
Persiapan untuk membuat sesajen disebut engkira, yaitu mempersiapkan segala bahan-bahan yang digunakan untuk upacara. Sedangkan kaum laki-laki mempersiapkan segala peralatan untuk berperang dan mendata pengaroh (jimat) serta begiga (berburu), mencari lauk pauk untuk persediaan perbekalan selama ngayau.
2. Para Kesatria perang duduk secara berderet lalu bermacam-macam sesajen yg masing-masing terdiri dari 7 piring dihidangkan di depan kesatria. 7 piring mempunyai makna 7 lapis langit.
3. Membaca mantra dilakukan oleh kepala kampung lalu mengibaskas ayam diatas kepala ksatria perang sebanyak tiga kali dan dilakukqan secara berulang-ulang.
4. Kepala kampung mengajak ketua adat yang dipilih untuk membuat sesajen yang diawali dengan pembacaan mantra atau jampi-jampi, lalu ketua adat mencurahkan air tuak sebanyak 7 kali untuk memanggil roh nenek moyang yang dianggap sebagai pelindung dalam perang untuk melindungi dan membantu selama berperang.
5. Mencurahkan atau membuang tuak sebanyak 3 kali untuk mengundang orang-orang dari kayangan untuk hadir dirumah Betang.
6. Ketua adat meminum tuak supaya roh-roh nenek moyang yang sudah berada dirumah Betang untuk melakukan kompromi dalam membuat sesajen yang dipersembahkan kepada roh-roh nenek moyang yang hadir di rumah Betang. Dalam membuat sesajen, yang pertama diambil adalah pulut sebagai lambang perekat kebersamaaan, dimana dalam perang diperlukan adanya persatuan dan kesatuan.
7. Kepada kampung mempersiapkan para tamu untuk menikmati hidangan yang disajikan oleh kedua wanita, maknanya adalah para tamu diharapkan untuk mendukung kegiatan/ peperangan yang akan dilakukan.
8. Kepala kampung mengajak para ksatria perang meminum tuak maknanya memberikan semangat kepada ksatria dalam menghadapi peperangan.
9. Kepala kampung mengambil tumpe lalu menaburkan padi yang telah disanangrai yang melambangkan bahwa masyarakat Dayak Iban mempunyai hati nurani yang jujur dan luhur.
10. Mengambil sirih dan perlengkapan seperti :rokok, daun apok, serta perlengkapan sesajen yang lain masing-masing diambil 5 batang untuk setiap satu piring, lalu ditaruh diacak yang didirikan ditiang tengah dari rumah Betang/tiang ranyai agar orang-orang panggau (kayangan) bersama dengan para tamu dirumah Betang.

Turun Ngayau
1. Kepala adat membaca mantra untuk peralatan perang supaya diberkati oleh ketua-ketua adat yang telah mendahului.
2. Kepala adat memotong ayam dilakukan diatas`tangga dan diambil darahnya untuk mengolesi kaki dan dahi para ksatria yang akan berperang agar diberkati. Setelah itu mencabut bulu ayam dan dioleskan didahi para tamu agar tridak diganggu oleh roh-roh jahat.
3. Para ksatria perang mengambil peralatan perang (pedang dan perisai) sertau mandau yang diselipkan dipinggang.
4. Lalu para ksatria menuruni tangga rumah Betang dengan korban satu ekor babi dengan maksud agar orang panggau (kayangan) ikut bersama dan membantu dalam perang.
5. Para ksatria mengatur strategi supaya dapat memotong kepala musuh yang berada didaerah-daerah.
6. Terjadilah pertempuran atau mengayau, musuh akhirnya kalah dan dipotong kepalanya yang dilambangkan dengan kelapa tua atau tengkorak manusia.
7. Setelah berhasil memotong kepala musuh, para ksatria meluapkan kegembiraan dengan menari-nari lalu mengatur strategi untuk kembali ke rumah Betang.
8. Para ksatria meletakkan hasil perolehan selama perang didepan tangga menuju rumah Betang sambil bercengkerama mengisahkan pengalaman mereka selama perang.
9. 2 orang wanita dan pawangnya menuruni tangga rumah Betang untuk mengantar sesajen untuk memberkati hasil perang.
10. Tuai rumah mengibaskan ayam dan memilih orang-orang yang akan membuat sesajen yang akan dipersembahkan kepada orang panggau ( kayangan ) yang telah membantu perang. 3 piring ditempelkan kepada 3 ancak yang terbuat dari bambu lalu dipasang pada tangga menuju rumah Betang untuk persembahan. Menurut kepercayaan mereka, sesajen ini selama 3 hari tidak boleh diganggu karena dapat mendetangkan musibah.

Memasuki rumah Betang
1. Setelah terdengar bunyi-bunyian alat musik sebagai pertanda bahwa para kesatria perang diperbolehkan untuk menaiki rumah betang dengan terlebih dahulu dibacakan mantera, lalu para ksatria dikibas dengan ayam, mencabut bulu ayam, memotong babi lalu dioleskan di dahi barulah menaiki tangga rumah betang. Sampai pada tangga paling atas dicurahkan tuak, lalu tuai rumah memberikan minuman tuak untuk memberi semangat kepada para ksatria perang yang telah berhasil memotong kepala musuh.
2. Setelah di rumah betang, kepala kampung menyiapkan sesajen lalu mengibaskan ayam kepada para ksatria perang.
3. Ayam dipotong darahnya dioleskan ke kepala musuh (tengkorakmanusia) yang berhasil dipotong dan buah kelapa (sebagai simbol), mencabut bulu ayam lalu di oleskan di dahi para ksatria, sesajen diletakkan atau digantung diancak yang ditaruh pada tiang ranjai.
4. Para ksatria perang dengan membawa kepala musuh dan kelapa menari bersama dengan para wanita mengelilingi tiang ranyai sebagai ungkapan syukau kepada para panggau (orang kayangan) yang telah membantu perang, lalu mengelilingi rumah betang.

Penulis: jodhi yudono

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.