Taken from Komunitas Blogger Dayak
Seorang pemuda bersenjata mandau duduk tepekur di trotoar jalan, di
Depan Hotel Putra Sampit, Kotawaringain Timur, Kalimantan Tengah
(Kalteng). Mandau di tangannya masih meneteskan darah. Matanya tampak
berkaca-kaca, dan sesekali ia sesenggukan. Ahmad, pemuda beretnis
Banjar yang kebetulan rumahnya dekat dengan trotoar jalan itu,
memberanikan diri menghampiri.
Ahmad bertanya dalam bahasa Melayu, ternyata pemuda yang sedang
menangis itu tidak mengerti. Ia tak lain adalah warga Dayak pedalaman.
Lalu, terjadilah dialog dalam bahasa daerah. “Kenapa Anda menangis,”
tanya Ahmad. “Bagaimana tidak, saya telah melakukan pembunuhan,” jawab
pemuda Dayak itu. Pemuda Dayak itu lantas nyerocos, kalau mengingat
pembunuhan yang dilakukannya, ia merasa kasihan pada warga Madura.
Tapi jika mengingat kelakuan etnis asal pulau garam itu, akunya, rasa
kasihannya menjadi hilang.
Pemuda itu hanyalah salah satu dari ratusan pemuda Dayak yang
melakukan penyerangan ke Sampit. Menurut budayawan Dayak Kalteng,
Gimong Awan, memang banyak di antara warga Dayak yang mengikuti
‘peperangan’ itu adalah pemuda berusia di bawah 30 tahun. Penyesalan
setelah membunuh itu muncul, duga Gimong, karena telah habisnya
pengaruh ‘isian’ yang dilakukan oleh orang sakti Suku Dayak. Para
pemuda itu, sambungnya, kebanyakan adalah pemuda lugu yang tidak
jarang juga pengangguran.
Seperti disaksikan oleh banyak warga Sampit, sebelum melakukan
penyerangan, beberapa subsuku Dayak memang malakukan ritual. Warga
Dayak yang ikut ritual itu setelah diisi, kulitnya dicoba disayat satu
per satu. Apabila ada yang luka, berarti ia tidak berbakat untuk
mendapatkan ‘kekebalan’. Bagi yang digores tidak berdarah, maka ia
lulus sebagai inti dari pasukan perang Dayak.
“Isian itu dilakukan seperti di Pencak Silat semacam Satria
Nusantara,” ujarnya. Selepas ‘isian’ habis, tambahnya, mungkin mereka
baru menyadari bahwa pembunuhan yang dilakukannya itu dilarang oleh
agama yang mereka anut.
Tapi, apa yang membuat suku Dayak di Kalteng begitu kalap dalam
menghadapi warga Madura? Hampir semua warga dan tokoh Dayak yang
ditemui Republika menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai
penyebabnya. H Charles Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya
menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan
peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Ia
mencontohkan salah satunya dalam soal tanah.
(more…)